HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP
PERILAKU BULLYING DI SD NEGERI
BALONG TANI
Lela Nurlela, Hidayatus Sya’diah, Bayu Krisna Alriyanto.
Stikes Hangtuah Surabaya
ABSTRACT
Bullying by Ken Rigby (2005) in Astuti (2008) is the desire to hurt. Parenting (parenting style) is a commonly used behavioral patterns of parents in raising their children (Omrod, 2008). The purpose of this study was to analyze parenting parents towards bullying.
The study design was observational analytic with cross sectional approach. Samples were taken using proportionate stratified random sampling found as many as 98 respondents 4-6 grade students in SD Negeri Balong Tani. Independent variables are parenting parents and dependent variables is bullying behavior. Instruments used questionnaires and interviews. Analysis of data using statistical tests with significance level Rho Spearman ρ <0.05.
The result showed 66 out of 98 respondents democratic parenting, 17 authoritarian, permissive 8, and 7 indifferent. While 11 respondents and bullying behavior is not bullying 87 respondents. Parenting parents of students in primary schools Balong Tani largely apply democratic parenting. Elementary School student behavior in Balong Tani largely bullying behavior. Spearman rho test results obtained value ρ = 0.004 <α = 0.05 means that H0 is rejected and there is a relationship between parenting parents against bullying behavior in SD Negeri Balong Tani. Results of analysis obtained correlation coefficient 0.287 means that the relationship between the two variables is weak.
The implication of this study is to provide input for the parents to be able to provide appropriate parenting for children not to be bullies and the teachers at the school to better provide more oversight and guidance for their students to prevent bullying in the school environment.
Keywords: Parenting, bullying, children.
Pendahuluan
Masa menjadi orang tua (parenthood) merupakan masa yang alamiah terjadi dalam kehidupan seseorang (Lestari, 2012). Orang tua sekarang mempunyai tugas yang cukup berat dalam mengasuh anak. Tumbuh kembang anak di masa datang sangat tergantung bagaimana cara orang tua mengasuhnya, karena orang tualah yang mengajarkan anak segala hal dalam dunia ini dan cara menyikapinya. Dalam hal bersosialisasi dan bergaul dengan lingkungannya salah satu tugas orang tua yang cukup berat, sebab pola asuh orang tua menentukan perilaku anak sehari-hari. Anak-anak selalu mengikuti dinamika lingkungan sekitarnya terutama dalam hal pergaulan di lingkungan sekolah. Setiap individu senantiasa dalam keadaan bergaul, baik dengan sesamanya maupun dengan lingkungan-lingkungan lainnya (Heri Purwanto, 2012).
Bullying menurut Ken Rigby (2005) dalam Astuti (2008) adalah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini di lakukan oleh pelaku dalam sebuah tindakan dalam sehari-hari di lingkungan rumah maupun di lingkungan sekolah, yang menyebabkan orang lain tersakiti. Tindakan ini dilakukan secara perorangan atau berkelompok, saat melancarkan aksi ini pelaku tidak pernah merasa bersalah atau bertanggung jawab bahkan melakukannya secara berulang-ulang dengan perasaan senang dan bangga.
Bullying sudah menjadi masalah global terutama di lingkungan sekolah. Penelitian secara nasional di AS menunjukkan bahwa sekitar 30% anak-anak tingkat sekolah dasar atau 5,7 ribu anak setiap tahun mengalami bullying selama di sekolah, baik sebagai pelaku, korban maupun keduanya (Storey, dkk, 2008). Lalu penelitian di Jerman memperoleh hasil bahwa 60,1% bullying terjadi di lingkungan sekolah, 17,3% terjadi saat perjalanan pulang sekolah, dan 9,2% terjadi di dalam kelas atau toilet. Di Indonesia, menurut data KPAI 87,6 persen anak mengaku pernah mengalami kekerasan di lingkungan sekolah dalam berbagai bentuk, dari angka 87,6 persen tersebut, sebanyak 29,9 persen kekerasan dilakukan oleh guru, 42,1 persen dilakukan oleh teman sekelas, dan 28,0 persen dilakukan oleh teman lain kelas. Yayasan sejiwa tahun 2008 juga melakukan penelitian fenomena bullying di beberapa kota besar di Indonesia, yaitu Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta mencatat terjadinya tingkat kekerasan sesama siswa sebesar 41,2% untuk tingkat SMP dan 43,7% untuk tingkat SMA. Menurut study pendahuluan yang di lakukan peneliti melalui observasi dan wawancara pada 10 siswa kelas 4 – 6 SD di SD Negeri Balong Tani. Terdapat 70 % atau 7 anak pernah melakukan bullying dan 30% atau 3 anak menjadi korban bullying dan juga di dapatkan dari 10 siswa tadi 40% siswa mendapatkan pola asuh permisif, 40% siswa mendapat pola asuh otoriter, masing-masing 10% siswa mendapat pola asuh demokratis dan acuh tak acuh.
Pengasuhan merupakan tanggung jawab utama orang tua, sehingga sungguh disayangkan bila pada masa kini masih ada orang yang menjalani peran orang tua tanpa kesadaran pengasuhan. Tugas orang tua pun kemudian tumbuh dari sekedar mencukupi kebutuhan dasar anak dan melatihnya dengan keterampilan hidup yang mendasar, menjadi memberikan yang terbaik bagi kebutuhan materiel anak, memenuhi kebutuhan emosi dan psikologis anak, dan menyediakan kesempatan untuk menempuh pendidikan yang terbaik (Lestari, 2012). Pola asuh orang tua menjadi kunci utama anak dalam berperilaku terutama perilaku bullying. Beberapa tipe pola asuh orang tua meliputi tipe pola asuh otoritatif, tipe pola asuh otoriter, tipe pola asuh permisif dan pola asuh acuh tak acuh/tidak peduli. Tipe pola asuh yang sudah di sebutkan salah satu dari tipe itu mempunyai pengaruh terhadap berperilaku bullying. Misalnya pola asuh permisif, orang tua terlalu percaya akan anaknya sehingga anak bisa melakukan apa saja semaunya salah satunya melakukan bullying ini. Pola asuh otoriter, orang tua terlalu mengekang anak sehingga anak melampiaskannya dilingkungan sekolah dalam bentuk bullying. Pola asuh demokratis, anak dibebaskan untuk berekspresi sesuai batasannya dan anak mengaplikasikannya hal itu dengan cara yang salah dilingkungan sekitarnya seperti melakukan bullying saat di sekolah. Lalu pola asuh acuh tak acuh, orang tua sama sekali tidak peduli dengan kehidupan anak, sehingga anak berbuat tindakan bullying di sekolah dengan tujuan untuk mendapat perhatian. Aktor utama dalam perilaku bullying ini adalah pelaku bullying. Korban bullying semasa kecil, kemungkinan besar akan menderita depresi dan kurang percaya diri dalam masa dewasa. Sementara pelaku bullying, kemungkinan besar akan terlibat dalam tindak kriminal di kemudian hari (Sejiwa, 2008). Faktor senioritas, status ekonomi, agama, gender, etnis dan pula factor dari keluarga itu sendiri yang menjadi alasan para bully melancarkan aksinya terhadap siswa yang lain. Dampak yang besar bagi perilaku ini sangat memprihatinkan bagi pelaku terutama para korban yang mengakibatkan gangguan kesehatan jiwa seperti isolasi sosial, menarik diri dari lingkungannya. Lingkungan sekolah menjadi lokasi favorit para pelaku bullying karena di tempat ini mereka berada di luar pengawasan orang tua, dan bisa bebas melakukan aksi ini.
Bullying bisa menjadi masalah yang besar untuk masa depan bangsa ini, semua anak bisa saja mempunyai mental perilaku bullying. Bullying merupakan fenomena yang serius di dalam dunia pendidikan. Sekolah merupakan salah satu lingkungan untuk bergaul dan banyak terjadi kejadian bullying, sehingga masalah bullying ini menjadi sorotan pada masa sekarang terutama di lingkungan sekolah. Bullying mempunyai dampak yang besar bagi anak – anak sekarang ini, maka dari itu pelaku dalam bullying ini harus di tangani secara mendalam.Anak adalah generasi penerus untuk masa depan yang cerah dan lebih baik. Orang terdekat anak di setiap lingkungan mempunyai peran penting dalam upaya mencegah terjadinya bullying. Cara mengasuh orang tua sangat penting dalam hal ini, untuk mencegah atau menghapus terjadinya bullying. Orang terdekat anak di lingkungan rumah tentu saja orang tua dan saat di sekolah adalah para guru. Di lingkungan rumah orang tua bisa memberikan pola asuh yang terbaik karena pola asuh yang di terapkan dapat menentukan sikap dan perilaku anak di setiap lingkungan. Guru yang merupakan orang tua ke dua bagi anak di lingkungan sekolah bisa memberikan pengawasan dan pengarahan lebih bagi siswa didiknya agar tindakan bullying di sekolah bisa di cegah. Seperti menaruh beberapa CCTV di kelas, dilorong sekolah, sehingga pemantuan terhadap siswa bisa di tingkatkan. Lalu di lakukannya seminar – seminar tentang bullying bagi orang tua dan guru. Melakukan kegiatan anti-bullying menurut Sejiwa (2008) seperti, poster, penggunaan kurikulum, perbaikan lingkungan, support group, dan lain – lain. Pada dasarnya jika kita membangun anak – anak kita menjadi orang – orang berkepribadian kuat, mereka akan tahan terhadap segala terpaan energi negatif yang berlangsung di sekitar mereka.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti mencoba untuk meneliti lebih lanjut hubungan pola asuh orang tua terhadap perilaku bullying di SD Negeri Balong tani.
.
Bahan dan Metode Penelitian
Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan penelitian korelasional (hubungan/asosiasi). Penelitian korelasional cross-sectional mengkaji hubungan antara variabel yang menekankan waktu hanya satu kali pada satu saat. Peneliti dapat mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, dan menguji berdasarkan teori yang ada (Nursalam, 2013).
Populasi pada penelitian ini adalah anak usia sekolah 9-12 tahun di SD Negeri Balong Tani sebanyak 130 anak kelas 4-6. Tekhnik sampling dalam penelitian ini adalah probability sampling dengan pendekatan proportionate random sampling. Teknik ini digunakan bila populasi anggotanya tidak homogeny dan berstrata secara proporsional (Setiadi, 2013). Sampel penelitian adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Setiadi, 2013). Sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 98 anak usia Sekolah di SD Negeri Balong Tani. Pada teknik ini setiap responden yang memenuhi kriteria inklusi :
1. Bersedia untuk diteliti
2. Terdaftar sebagai siswa di SD Negeri Balong Tani
3. Siswa yang hadir saat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 5 Mei 2015 di SD Negeri Balong tani. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan lembar kuesioner. Pengisian kuesioner oleh responden dilakukan dengan teknik chek list. Variabel Independen (pola asuh orang tua) menggunakan instrumen wawancara berjumlah 40 pertanyaan. Variabel dependen (perilaku bullying) menggunakan instrumen kuesioner berjumlah 18 pertanyaan.
Hasil Penelitian
Data Umum
1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur
Tabel 5.1 Karakteristik responden berdasarkan umur pada siswa kelas 4-6 SD Negeri Balong Tani pada tanggal 5 Mei 2015 (n = 98)
Karakteristik Umur
|
Frekuensi (f)
|
Prosentase (%)
|
9 tahun
|
6
|
6,1 %
|
10 tahun
|
32
|
32,7 %
|
11 tahun
12 tahun
|
29
31
|
29,6 %
31,6 %
|
Total
|
98
|
100 %
|
Tabel 5.1 didapatkan data umum bahwa dari 98 responden di SD Negeri Balong Tani, karakteristik responden dengan umur 10 tahun sebanyak 32 responden (32,7%), responden dengan umur 12 tahun sebanyak 31 responden (31,6%), responden dengan umur 11 tahun sebanyak 29 responden (29,6 %) dan responden dengan umur 9 tahun sebanyak 6 responden (6,1%).
2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 5.2 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin pada siswa kelas 4-6 di SD Negeri Balong Tani pada tanggal 5 Mei 2015 (n = 98)
Karakteristik Jenis Kelamin
|
Frekuensi (f)
|
Prosentase (%)
|
Laki-laki
|
64
|
65,3 %
|
Perempuan
|
34
|
34,7 %
|
Total
|
98
|
100 %
|
Tabel 5.2 didapatkan data umum bahwa dari 98 responden di SD Negeri Balong Tani, karakteristik responden dalam jenis kelamin laki-laki sebanyak 64 (65,3 %) dan karakteristik responden dalam jenis kelamin perempuan sebanyak 34 (34, 7 %).
3. Karakteristik Responden Berdasarkan Uang Saku
Tabel 5.3 Karakteristik responden berdasarkan uang saku pada siswa kelas 4-6 SD Negeri Balong Tani pada tanggal 5 Mei 2015 (n = 98)
Karakteristik Uang Saku
|
Frekuensi (f)
|
Prosentase (%)
|
Rp. 1000-5000
|
38
|
38,8 %
|
Rp. 6000-10.000
|
43
|
43,9 %
|
>Rp. 10.000
|
17
|
17,3 %
|
Total
|
98
|
100 %
|
Tabel 5.3 didapatkan data umum bahwa dari 98 responden di SD Negeri Balong Tani, karakteristik responden dengan uang saku Rp.6000-10.000 sebanyak 43 responden (43,9%), responden dengan uang saku Rp.1000-5000 sebanyak 38 responden (38,8%), dan responden dengan uang saku >Rp.10.000 sebanyak 17 responden (17,3 %).
4. Karakteristik Responden Berdasarkan Tinggal Bersama
Tabel 5.4 Karakteristik responden berdasarkan tinggal bersama pada siswa kelas 4-6 SD Negeri Balong Tani pada tanggal 5 Mei 2015 (n = 98)
Karakteristik Tinggal Bersama
|
Frekuensi (f)
|
Prosentase (%)
|
Ayah dan Ibu
|
77
|
78,6 %
|
Ayah
|
8
|
8,2 %
|
Ibu
|
6
|
6,1 %
|
Wali
|
7
|
7,1 %
|
Total
|
98
|
100 %
|
Tabel 5.4 didapatkan data umum bahwa dari 98 responden di SD Negeri Balong Tani, karakteristik responden tinggal bersama ayah dan ibu sebanyak 77 responden (78,6%), tinggal bersama ayah sebanyak 8 responden (8,2%), tinggal bersama wali sebanyak 7 responden (7,1%) dan tinggal bersama ibu sebanyak 6 responden (6,1%).
5. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Ayah
Tabel 5.5 Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ayah pada siswa kelas 4-6 SD Negeri Balong Tani pada tanggal 5 Mei 2015 (n = 98)
Karakteristik Pekerjaan ayah
|
Frekuensi (f)
|
Prosentase (%)
|
Swasta
|
72
|
73,5 %
|
Pegawai negeri
|
12
|
12,2 %
|
TNI/Polri
|
10
|
10,2 %
|
Tidak bekerja
|
4
|
4,1 %
|
Total
|
98
|
100 %
|
Tabel 5.5 didapatkan data umum bahwa dari responden 98 di SD Negeri Balong Tani, karakteristik responden dengan pekerjaan ayah swasta sebanyak 72 responden (73,5 %), responden dengan pekerjaan ayah pegawai negeri sebanyak 12 (12,2 %), responden dengan pekerjaan ayah TNI/Polri sebanyak 10 responden (10,2 %) dan responden dengan pekerjaan ayah tidak bekerja sebanyak 4 responden (4,1 %).
6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu
Tabel 5.6 Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ibu pada siswa kelas 4-6 SD Negeri Balong Tani pada tanggal 5 Mei 2015 (n = 98)
Karakteristik Pekerjaan Ibu
|
Frekuensi (f)
|
Prosentase (%)
|
Swasta
|
43
|
43,9 %
|
Pegawai negeri
|
13
|
13,3 %
|
TNI/Polri
|
2
|
2 %
|
Ibu rumah tangga
|
40
|
40,8 %
|
Total
|
98
|
100
|
Tabel 5.6 didapatkan data umum bahwa dari 98 responden di SD Negeri Balong tani, karakteristik responden dengan pekerjaan ibu swasta sebanyak 43 responden (43,9%), responden dengan pekerjaan ibu rumah tangga sebanyak 40 responden (40,8%), responden dengan pekerjaan ibu pegawai negeri sebanyak 13 responden (13,3%) dan responden dengan pekerjaan ibu sebagai ibu TNI/Polri sebanyak 2 responden (2 %).
Data Khusus
1. Pola Asuh Orang Tua
Tabel 5.7 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pola asuh orang tua pada siswa kelas 4-6 SD Negeri Balong Tani pada tanggal 5 Mei 2015 (n = 98).
Karakteristik Pola Asuh Orang Tua
|
Frekuensi (f)
|
Prosentase (%)
|
Demokratis
|
66
|
67,3 %
|
Otoriter
|
17
|
17,3 %
|
Permisif
|
8
|
8,2 %
|
Acuh tak acuh
|
7
|
7,1 %
|
Total
|
98
|
100 %
|
Tabel 5.7 didapatkan data khusus bahwa dari 98 responden di SD Negeri Balong Tani, karakteristik responden dengan pola asuh demokratis sebanyak 66 responden (67,3 %), responden dengan pola asuh otoriter sebanyak 17 responden (17,3 %), responden dengan pola asuh permisif sebanyak 8 responden (8,2 %) dan responden dengan pola asuh acuh tak acuh sebanyak 7 responden (7,1 %).
2. Perilaku Bullying
Tabel 5.8 Distribusi frekuensi responden berdasarkan perilaku bullying pada siswa kelas 4-6 SD Negeri Balong Tani pada tanggal 5 Mei 2015 (n = 98).
Karakteristik Perilaku Bullying
|
Frekuensi
|
Prosentase (%)
|
Bukan bullying
|
87
|
88,8 %
|
bullying
|
11
|
11,2 %
|
Total
|
98
|
100 %
|
Tabel 5.8 didapatkan data khusus bahwa dari 98 responden di SD Negeri Balong Tani, karakteristik responden yang bukan bullying sebanyak 87 responden (88,8 %), dan yang merupakan perilaku bullying sebanyak 11 responden (11,2 %).
3. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku Bullying
Tabel 5.9 Tabel tabulasi silang pola asuh prang tua dengan perilaku bullying pada siswa kelas 4-6 SD Negeri Balong Tani pada tanggal 5 Mei 2015 (n = 98)
Pola Asuh Orang Tua
|
Perilaku Bullying
|
Total
| |||||||
Bukan Bullying
|
Bullying
| ||||||||
f
|
%
|
F
|
%
|
F
|
%
| ||||
Demokratis
|
63
|
95,5
|
3
|
4,5
|
66
|
100
| |||
Otoriter
|
12
|
70,6
|
5
|
29,4
|
17
|
100
| |||
Permisif
|
7
|
87,5
|
1
|
12,5
|
8
|
100
| |||
Acuh tak acuh
|
5
|
71,4
|
2
|
28,6
|
7
|
100
| |||
Total
|
87
|
88,8
|
11
|
11,2
|
98
|
100
| |||
Sig
|
Spearman rho 0,004
| ||||||||
Tabel 5.9 didapatkan 66 responden dalam pola asuh demokratis dengan bukan bullying sebanyak 63 responden (95,5%) dan bullying sebanyak 3 responden (4,5%). Pola asuh orang tua otoriter dari 17 responden yang bukan bullying sebanyak 12 responden (70,6%) dan bullying sebanyak 5 responden (29,4%). Pola asuh permisif dari 8 responden yang bukan bullying sebanyak 7 responden (87,5%) dan bullying sebanyak 1 responden (12,5%), dan pola asuh acuh tak acuh dari 7 responden yang bukan bullying sebanyak 5 responden (71,4%) dan bullying sebanyak 2 responden (28,6%). Hasil uji Spearman rho didapatkan nilai ρ = 0,004 < α = 0,05 artinya H0 ditolak dan terdapat hubungan antara pola asuh orang tua terhadap perilaku bullying di SD Negeri Balong Tani. Hasil analisa didapatkan koefisien korelasi 0,287 artinya hubungan kedua variabel bersifat lemah.
Pembahasan
1. Pola Asuh Orang Tua di SD Negeri Balong Tani
Berdasarkan tabel 5.8 menunjukkan hasil penelitian bahwa pola asuh yang dianut oleh para orang tua siswa di SD Negeri Balong Tani di dominasi oleh pola asuh demokratis sebanyak 66 responden (67,3%) dari 98 responden, pola asuh otoriter 17 responden (17,3%), pola asuh permisif 8 responden (8,2 %), dan pola asuh acuh tak acuh 7 responden (7,1%) .
Dari hasil tabulasi silang data umum responden berdasarkan pola asuh orang tua yang menerapkan pola asuh demokratif yaitu 66 responden (67,3%) berlatar belakang usia anak 12 tahun 27 responden (40,9%), 11 tahun 20 responden (30,3%), 10 tahun 16 responden (24,2%) dan 9 tahun 3 responden (4,5%). Pola asuh otoriter sebanyak 17 responden (17,3%) dengan latar belakang usia anak 10 tahun 9 responden (52,9%), 11 tahun 4 responden (23,5%), dan masing-masing sebanyak 2 responden (11,8%) untuk usia anak 9 dan 12 tahun. Pola asuh permisif sebanyak 8 responden (8,2%) dengan usia anak 10 tahun 3 responden (7,5%), usia 11-12 tahun masing-masing 2 responden (25%) dan 9 tahun 1 responden (14%). Pola asuh acuh tak acuh dengan usia anak 10 tahun 4 responden (57,1%), 11 tahun 3 responden (42,9%) dan pada usia 9 dan 12 tahun tidak ada responden.
Dari hasil tabulasi silang tersebut dapat dijelaskan pola asuh demokratis menjadi dominan berdasarkan usia anak 9-12 tahun. Fudyartanta (2011) mengungkapkan anak-anak masih gemar bermain, sudah tertarik perhatiannya untuk membantu pekerjaan-pekerjaan yang praktis dirumah, dorongan ingin tahu yang kuat, keinginan untuk belajar dan mulai menghargai prestasinya. Peneliti berasumsi bahwa pola asuh demokratis yang memberikan kehangatan dalam komunikasi tanpa memberikan kekangan dan kekerasan terhadap anak meskipun tidak pula membiarkan anak terlalu bebas dalam artian tetap di berikan pengarahan, sehingga anak merasa nyaman dan berkembang dengan baik dan anak dalam usia tersebut mempunyai keingintahuan yang tinggi dan ingin mencoba berbagai kegiatan.
Berdasarkan hasil tabulasi silang pola asuh dengan jenis kelamin anak, pola asuh demokratis 66 responden (67,3%) dengan jenis kelamin anak laki-laki 42 responden (63,6%) dan perempuan 24 responden (36,4%). Pola asuh otoriter 17 responden (17,3%) dengan jenis kelamin anak laki-laki 12 responden (70,6%) dan perempuan 5 responden (29,4%). Pola asuh permisif 8 responden (8,2%) dengan jenis kelamin anak laki-laki dan perempuan sama 4 responden (50%). Pola asuh acuh tak acuh 7 responden (7,1%) dengan jenis kelamin laki-laki 6 responden (85,7%) dan perempuan 1 responden (14,3%).
Dari hasil tabulasi silang tersebut pola asuh orang tua demokratis dengan jenis kelamin anak laki-laki menjadi yang tertinggi setelah itu pola asuh otoriter. Martin dan Colbert (1997) dalam Chairini (2013) mengungkapkan bahwa jenis kelamin anak akan mempengaruhi proses pengasuhan, karena orang tua memiliki harapan yang berbeda terhadap anak laki-laki atau perempuan. Peneliti berasumsi di masyarakat secara umum bahwa anak laki-laki biasanya lebih diandalkan daripada perempuan karena dianggap bisa menjaga diri dalam situasi apapun, dan bisa menjaga diri dalam segala lingkungan.
Berdasarkan hasil tabulasi silang pola asuh orang tua dengan uang saku mayoritas pola asuh demokratis 66 responden (67,3%) dengan uang saku Rp. 1000-5000 dan uang saku Rp.6000-10.000 sama-sama 26 responden (39,4%) dan uang saku >Rp. 10.000 14 responden (82,4%). Pola asuh otoriter 17 responden (17,3%) dengan uang saku Rp.5000-10.000 11 responden (64,7%), Rp. 1000-5000 5 responden (29,4%), >Rp. 10.000 1 responden (5,9%). Pola asuh permisif 8 responden (8,2%) dengan uang saku Rp.1000-5000 4 responden (50%), uang saku Rp.5000-10.000 dan >Rp.10.000 masing-masing 2 responden (25%). Pola asuh acuh tak acuh 7 responden (7,1%) dengan uang saku Rp. 5000-10.000 4 responden (57,1%) dan Rp.1000-5000 3 responden (42,9%).
Dari hasil tabulasi tersebut uang saku yang di dapatkan Rp. 1000-5000 mayoritaskan mendapatkan pola asuh demokratis. Anak yang mempunyai orang tua otoritatif (demokratis) sering sekali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi (Santrock, 2007). Asumsi dari peneliti di karenakan faktor ekonomi yang rata-rata berada di ekonomi menengah sehingga adanya pembatasan uang saku yang diberikan kepada anak, sehingga orang tua lebih memberikan pembatasan yang terkontrol agar anak tidak terbiasa boros dan mempunyai tanggung jawab akan uang sakunya.
Berdasarkan hasil tabulasi silang pola asuh dengan tinggal bersama saat dirumah, pola asuh demokratis 66 responden (67,3%) dengan tinggal bersama ayah dan ibu 55 responden (83,3%), wali 5 responden (7,6%), tinggal bersama ayah dan tinggal bersama ibu masing-masing 3 responden (4,5%). Pola asuh otoriter 17 responden (17,3%) dengan tinggal bersama ayah dan ibu 11 responden (64,7%), ayah 3 responden (17,6), ibu 2 responden (11,8%) dan wali 1 responden (5,9%). Pola asuh permisif 8 responden (8,2%) dengan tinggal bersama ayah dan ibu 7 responden (87,5%) dan wali 1 responden (12,5%). Pola asuh acuh tak acuh 7 responden (7,1%) dengan tinggal bersama ayah dan ibu 4 responden (57,1%), ayah 2 responden (28,6%) dan ibu 1 responden (14,3%).
Dari hasil tabulasi tersebut sebagian besar anak tinggal bersama ayah dan ibunya mendapatkan pola asuh demokratis. Dapat dilihat dari keharmonisan perkawinan. Keluarga yang perkawinannya terdapat banyak masalah sering menyebabkan orang tua lebih sering memarahi anak sebagai luapan emosi yang dialami (Gunarsa, 2008). Peneliti berasumsi bahwa dengan kehadiran kedua orang tua yang lengkap bisa berbagi peran dalam mengasuh anaknya dan bisa saling mengisi waktu bersama dengan anak, berbeda dengan anak yang diasuh oleh hanya salah satu orang tua atau orang tua tunggal yang dikarenakan retaknya suatu perkawinan sehingga pengasuhan dilakukan salah satu pihak saja yang kemungkinan membuat anak tidak merasa nyaman saat dirumah dan kurang pengawasan.
Berdasarkan hasil tabulasi silang pola asuh dengan pekerjaan ayah, pola asuh demokratis 66 responden (67,3%) dengan pekerjaan ayah swasta 53 responden (80,3%), pegawai negeri 7 responden (10,6%), TNI/Polri 5 responden (7,6%), tidak bekerja 1 responden (1,5%). Pola asuh otoriter 17 responden (17,3) dengan pekerjaan ayah swasta 8 responden (47,1%), pegawai negeri dan TNI/Polri masing-masing 4 responden (23,5%), tidak bekerja 1 responden (5,9%). Pola asuh permisif 8 responden (8,2%) dengan pekerjaan ayah swasta 5 responden (62,5%), pegawai negeri, TNI/Polri dan tidak bekerja masing-masing 1 responden (12,5%). Pola asuh acuh tak acuh 7 responden (7,1%) dengan pekerjaan ayah swasta 6 responden (85,7%) dan tidak bekerja 1 responden (14,3%).
Dari hasil tabulasi tersebut mayoritas pekerjaan ayah bekerja dibidang swasta. Menurut Brooks (2011) pekerjaan juga mempengaruhi terhadap pola asuh yang diterapkan oleh orang tua karena memungkinkan orang tua untuk menghidupi anaknya. Peneliti berasumsi bahwa mata pencaharian ayah lebih menguras banyak waktu, karena ada yang bekerja di pabrik dan mengambil lemburan sehingga waktu dirumah lebih banyak digunakan untuk beristirahat dan kurang bisa mengatur waktu untuk memperhatikan aktifitas anak.
Berdasarkan hasil tabulasi silang pola asuh dengan pekerjaan ibu, pola asuh demokratis 66 responden (67,3%) dengan pekerjaan ibu swasta 31 responden (47%), ibu rumah tangga 27 responden (40,9%), pegawai negeri 7 responden (10,6%), TNI/Polri 1 responden (1,5%). Pola asuh otoriter 17 responden (17,3) dengan pekerjaan ibu rumah tangga 7 responden (41,2%), swasta 5 responden (29,4%), pegawai negeri 4 responden (23,5%), TNI/Polri 1 responden (5,9%). Pola asuh permisif 8 responden (8,2%) dengan pekerjaan ibu swasta 4 responden (50%), ibu rumah tangga 3 responden (37,5%) dan pegawai negeri 1 responden (12,5%). Pola asuh acuh tak acuh 7 responden (42,9%) dengan pekerjaan ibu swasta dan ibu rumah tangga masing-masing 3 responden (42,9%) dan pegawai negeri 1 responden (14,3%).
Dari hasil tabulasi tersebut mayoritas ibu bekerja di bidang swasta. Maghfuroh (2013) mengungkapkan pekerjaan merupakan usaha yang dilakukan orang tua untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sebagian besar orang tua tidak bekerja mempunyai banyak waktu untuk bisa berinteraksi dengan keluarga termasuk anak semakin lama orang tua dan anak bertemu dan berinteraksi maka akan semakin baik hubungan antara orang tua dan anak. peneliti berasumsi kemungkinan mempunyai jadwal waktu untuk bersama anak yang tidak bisa ditentukan, sehingga kekurangan waktu untuk bersama anak dan anak merasa kurang diperhatikan saat dirumah sedangkan ibunya pergi untuk bekerja.
2. Perilaku Bullying di SD Negeri Balong Tani
Hasil penelitian pada tabel 5.9 menunjukkan bahwa dari 98 responden sebanyak 87 responden (88,8%) bukan bullying dan 11 responden (11,2%) berperilaku bullying. Hasil tabulasi silang data umum dengan perilaku bullying berdasarkan umur anak, bukan bullying umur 12 tahun 31 responden (35,6%), 10-11 tahun masing-masing 25 responden (28,7%) dan 9 tahun (6,9%). Lalu perilaku bullying 11 responden (11,2%) dengan umur 10 tahun 7 responden dan 11 tahun 4 responden (36,4%).
Berdasarkan hasil tabulasi tersebut hanya sebagian besar umur 10-11 tahun yang melakukan bullying. Elvigro (2014) mengungkapkan budaya senioritas ini dianggap oleh mereka sebagai suatu hiburan yang menyenangkan, penyaluran dendam, wadah mencari popularitas, dan untuk menunjukkan kekuasaan. Peneliti bersumsi bahwa mayoritas siswa yang berumur 12 berada di kelas 6 yang sudah sibuk mempersiapkan diri dan belajar menghadapi ujian sekolah, sedangkan siswa berperilaku bullying berada dikelas 4-5 yang merasa tidak memiliki persiapan untuk ujian sekolah sehingga mereka masih asik untuk bermain dan mengganggu temannya atau adik kelasnya karena merasa senior disekolah hal itu ditemukan dilapangan saat jam istirahat kelas 4-5 mengganggu temannya dan juga mengganggu para adik kelas.
Hasil tabulasi silang perilaku bullying dengan jenis kelamin, bukan bullying 87 responden (88,8%) dengan jenis kelamin laki-laki 57 responden (65,5%) dan perempuan 30 responden (34,5%). Perilaku bullying 11 responden (11,2%) dengan jenis kelamin laki-laki 7 responden (63,6%) dan perempuan 4 responden (36,4%). Dari hasil tersebut mayoritas laki-laki maupun perempuan bukan bullying. Pada siswa usia 9-11 tahun, anak lakilaki menunjukkan peningkatan agresivitas dan dominasi dibandingkan siswi-siswi pada usia yang sama (Offord, Boyle & Racine, 1991 dalam Bee, 1994 dalam Siswati, 2009). Peneliti berasumsi yang bukan bullying tersebut merupakan korban bullying atau bahkan hanya sebagai anggota kelompok anak yang merupakan pelaku bullying. Pelaku bullying terbanyak adalah laki-laki karena merasa bahwa laki-laki kuat secara fisik untuk menindas anak yang dianggap lemah. Dari hasil penelitian, diperoleh penemuan bahwa terdapat konsistensi perbedaan gender pada perilaku agresivsitas, terutama school bullying.
Hasil tabulasi silang perilaku bullying dengan uang saku, bukan bullying 87 responden (88,8%) dengan uang saku Rp. 5000-10.000 38 responden (43,7%), Rp. 1000-5000 34 responden (39,1%) dan >Rp. 10.000 15 responden (17,2%). Bullying 11 responden (11,2%) dengan uang saku Rp. 6000-10.000 5 responden, Rp. 1000-5000 4 responden (36,4%) dan >Rp. 10.000 2 responden (18,2%). Berdasarkan hasil tabulasi tersebut, sebagian besar siswa yang bukan bullying maupun bullying mendapatkan uang saku Rp. 5000-10.000. Menurut Morison, Rigby, Field, Sullivan, dan Pearce (Eliiot, 1997 dalam Elvigro 2014), bullying dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : perbedaan kelas/senioritas, ekonomi, agama, gender dan etnisitas/rasisme. Asumsi peneliti ekonomi keluarga yang terus meningkat juga meningkatkan uang saku siswa, sehingga uang saku yang begitu besar juga menimbulkan keinginan beberapa siswa untuk memalak siswa lain. Para pelaku bullying memalak dengan tujuan untuk menambah uang sakunya sendiri.
Hasil tabulasi silang perilaku bullying dengan tinggal bersama, bukan bullying 87 responden (88,8%) dengan tinggal bersama ayah dan ibu 67 responden (77%), ayah dan wali masing-masing 7 responden (8%) dan ibu 6 responden (6,9%). Bullying 11 responden (11,2%) dengan tinggal bersama ayah dan ibu 10 responden (78,6%) dan tinggal bersama ayah 1 responden (9,1%). Berdasarkan hasil tabulasi tersebut sebagian besar bukan perilaku bullying tinggal bersama kedua orang tuanya. Menurut Morison, Rigby, Field, Sullivan, dan Pearce (Eliiot, 1997 dalam Elvigro 2014), bullying dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : keluarga yang tidak rukun. Asumsi peneliti bahwa dengan bimbingan dan pengawasan kedua orang tua yang baik dapat menghindarkan anak berperilaku buruk. Keluarga yang rukun berperan untuk menjaga kenyamanan anak dirumah, beda halnya apabila keadaan keluarga yang tidak rukun misalnya perceraian ayah dan ibu yang pastinya membuat anak tertekan saat dirumah dan melampiaskannya diluar rumah misalnya disekolah anak suka menyakiti temannya.
3. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perilaku Bullying di SD Negeri Balong Tani
Berdasakan hasil penelitian yang dilakukan dari 98 responden didapatkan 66 responden dalam pola asuh demokratis dengan bukan bullying sebanyak 63 responden (95,5%) dan bullying sebanyak 3 responden (4,5%). Pola asuh orang tua otoriter dari 17 responden yang bukan bullying sebanyak 12 responden (70,6%) dan bullying sebanyak 5 responden (29,4%). Pola asuh permisif dari 8 responden yang bukan bullying sebanyak 7 responden (87,5%) dan bullying sebanyak 1 responden (12,5%), dan pola asuh acuh tak acuh dari 7 responden yang bukan bullying sebanyak 5 responden (71,4%) dan bullying sebanyak 2 responden (28,6%). Hasil uji Spearman rho didapatkan nilai ρ = 0,004 < α = 0,05 artinya H0 ditolak dan terdapat hubungan antara pola asuh orang tua terhadap perilaku bullying di SD Negeri Balong Tani. Hasil analisa didapatkan koefisien korelasi 0,287 artinya hubungan kedua variabel bersifat lemah.
Pola asuh orang tua mempengaruhi perilaku anak di lingkungan rumah maupun dilingkungan luar rumah dalam hal ini adalah lingkungan sekolah. Pelaku bullying dalam penelitian ini sebagian besar mendapatkan pola asuh otoriter. Gaya pengasuhan yang otoriter dilakukan oleh orang tua yang selalu berusaha membentuk, mengontrol, mengevaluasi perilaku dan tindakan anak agar sesuai dengan aturan standar (Lestari, 2012). Anak harus patuh dan tunduk dan tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapatnya sendiri (Gunarsa, 2008). Gaya pengasuhan otoriter yang dilakukan oleh orang tua yang berusaha membentuk, mengontrol, mengevaluasi perilaku dan tindakan anak agar sesuai dengan aturan standar (Lestari, 2012). Orang tua tidak segan-segan untuk mengancam atau bahkan menghukum anaknya apabila tidak menuruti perintah orang tua tanpa kompromi. Sehingga anak merasa tertekan dan tidak bisa mengungkap isi hati dan perasaannya dan komunikasi antara anak dan orang tua menjadi dingin. Karena merasa tertekan akan keadaan dirumah anak cenderung melampiaskannya di dalam lingkungan sekitarnya dalam penelitian ini dalam lingkungan sekolah, bentuk pelampiasan yang dilakukan adalah tindakan bullying kepada anak-anak yang lain. Hal ini sependapat dengan Wiyani (2012) yang mengungkapkan pelaku bullying biasanya adalah anak-anak dari orang tua yang otoriter, berperilaku kasar, atau terlalu permisif terhadap perilaku agresif anak. Hal ini berbeda dengan gaya pengasuhan otoritatif (demokratis) dimana orang tua mengarahkan perilaku anak secara rasional, dengan memberikan penjelasan terhadap maksud dari aturan-aturan yang di berlakukan (Lestari, 2012). Menurut peneliti hal itu membuat keterbukaan komunikasi antara orang tua dengan anak menjadi bagus, interaksi orang tua dan anak menjadi sangat kuat sehingga anak menjadi nyaman saat berada dirumah dan dapat terhindar dari perilaku bullying di lingkungan manapun.
Simpulan
Berdasarkan analisa data dalam penelitian yang dilakukan, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pola asuh orang tua siswa di SD Negeri Balong Tani sebagian besar menerapkan pola asuh demokratis.
2. Perilaku siswa di SD Negeri Balong Tani sebagian besar tidak berperilaku bullying.
3. Ada hubungan pola asuh orang tua terhadap perilaku bullying di SD Negeri Balong Tani.
Saran
Saran yang dapat peneliti berikan adalah sebagai berikut :
1. Bagi orang tua
Diharapkan dari hasil penelitian ini orang tua dapat memberikan pola asuh yang tepat bagi anak agar tidak menjadi pelaku bullying. Orang tua juga diharapakan dapat mengetahui ciri perilaku bullying yang terjadi pada anak, sehingga tindakan bullying ini bisa diatasi. Orangtua harus memperhatikan kualitas interaksi dengan anak sehingga tindakan bullying bisa di cegah dengan adanya komunikasi yang berkualitas antara anak dengan orangtua.
2. Bagi Guru
Diharapkan penelitian ini bisa memberi masukan bagi para profesi pendidikan agar lebih memberikan pengawasan lebih dan pengarahan bagi siswanya untuk mencegah terjadinya bullying di lingkungan sekolah. Guru harus lebih memahami karakter para siswanya.
3. Bagi Profesi Keperawatan
Diharapkan peneliti dapat memberikan masukan kepada profesi keperawatan dalam melakukan pelayanan keperawatan khususnya dalam promosi kesehatan jiwa pada masyarakat tentang pola asuh orang tua terhadap bullying.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Dapat digunakan sebagai bahan acuan atau sumber data bagi peneliti selanjutnya, peneliti berharap adanya pengembangan penelitian selanjutnya, yaitu tentang hubungan tingkat pengetahuan guru terhadap kejadian perilaku bullying di sekolah.
Daftar Pustaka
Alfianti, Nur Fadilah. (2013) Skripsi : hubungan perlakuan bullying dengan harga diri (self esteem) pada siswa kelas VIII di SMPN 1 porong. Hal 9.
Andarmoyo, Sulistyo (2012). Keperawatan Keluarga : Konsep Teori, Proses dan Praktik Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu
Chairini, Nurul. (2013). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Stress Pengasuhan Pada Ibu dengan Anak Usia Prasekolah, Program Sarjana Keperawatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatul. Jakarta: Skripsi dipublikasikan.
Elvigro, Paresma (2014). Secangkir Kopi Bully. Jakarta : Gramedia
Gunarsa, S. D. (2008). Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja hal 144. Jakarta: Gunung Mulia.
Hertinjung, Wisnu Sri. (2013). Bentu-Bentuk Perilaku di Sekolah Dasar. www.publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/3952/D7.pdf?sequence=7 di unduh tanggal 25 januari 2015 pada pukul 20.00 WIB
Lestari, Sri (2012). Psikologi Keluarga : Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga hal 35. Jakarta : Kencana
Maghfuroh, Lilis (2013). Hubungan Pekerjaan Orang Tua Dengan Perkembangan Anak Prasekolah Di Taman Kanak-Kanak Surya Baru Plosowahyu Lamongan.http://stikesmuhla.ac.id/v2/wpcontent/uploads/jurnalsurya/noXV/9.pdf di unduh tanggal 2 juli 2015 pada pukul 21.00 WIB
Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Edisi 3. Jakarta : Salemba Medika
Notosoedirdjo, Moeljono dan Latipun (2011). Kesehatan Mental edisi keempat. Malang : UMM Press
Ormrod, Jeanne Ellis (2008). Psikologi Pendidikan : Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Jakarta : Erlangga
Purwanto, Heri (2012). Pengantar Perilaku Manusia untuk Keperawatan hal 71. Jakarta : EGC
Santrock, John W (2007). Perkembangan Anak, edisi sebelas, jilid 1. Jakarta : Erlangga
Santrock, John W (2007). Perkembangan Anak, edisi ketujuh, jilid 2. Jakarta : Erlangga
Santrock, John W (2012). Perkembangan Masa-Hidup hal 383. Jakarta : Erlangga
Setiadi, (2008). Konsep & Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta : Graha Ilmu
Setiadi. (2013). Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan, Edisi 2. Yogyakarta : Graha Ilmu
Sejiwa, (2008). Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak hal 10, 33 . Jakarta : Grasindo
Siswati dan Widayanti, Costrie Ganes (2009). Fenomena Bullying di Sekolah Dasar Negeri di Semarang. Jurnal Psikologi Undip, Vol. 5, No. 2, Desember 2009
Suriadi dan Yuliani, Rita (2010). Asuhan Keperawatan pada Anak edisi 2. Jakarta : Sagung Seto
Susanto, Ahmad (2013). Teori Belajar & Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta : Kencana
Wiyani, Novan Ardy. (2012) save our children from school bullying hal 11, 14. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar